Laman

Jumat, 14 Februari 2014

Benak berteriak dan hati tersentak

Pagi ini udara terasa menyesakkan dadaku. Masih teringat dengan jelas begitu ramainya keriyaan yang terjadi semalam. Hiruk pikuk seolah-olah menawarkan obat depresi bagi permasalahan yang ku hadapi. Aku menelannya, dengan bulat dan spontan. Namun layaknya obat pada umumnya itu hanya akan bereaksi sementara, fana , maya seperti cinta dan kasih yang selama ini kurasakan.

Dia masih berdiri disudut ruangannya sendiri, tanpa mau aku ganggu, tanpa mau aku hampiri. Dia hanya sesekali menyunggingkan senyumannya padaku, kadang terasa begitu getir bila ku timbang dengan besarnya rasa rindu ini, kdang terlihat begitu manis bila kenangan itu menemaniku ditengah lamunan beku itu, kadang terasa dingin bila kusandingkan dengan luka yang ia beri.

Bodoh..bodoh,,bodoh dan bodoh,,,
benak ini berteriak luruh. menyadarkanku akan setiap sakit yang aku rasakan. bathin ini , raga ini dan rasaku mencapai titik jenuhnya akan semua keadaan "cinta" yang kau tawarkan. Namun hati ini tersentak dengan sebuah keyakinan, kepercayaan dan rasa tulusku yang belum berubah arah pada yang lain.

Airmata ini telah habis terpakai tuk meratap dan langkah kaki ku tetap tertahan. Mau sampai kapan?
peraaaan cinta yang menjadi sebuah pengharapan bagiku telah diguncangnya dengan sebuah ketidakperdulian.

haruskah aku terus bertahan?
aku bosan dengan keriyaan itu, karena itu sama sekali membantu
yang kuinginkan hanya dia, bisakah?
aku letih dengan manipulasi diri ini
yang kuinginkan hanya fakta, bolehkah?

dan dia masih terpaku diam perlahan pergi menjauh..
ntah dia yang melangkah maju atau aku yang mundur hingga pandangan itu terasa makin kabur
atau waktu tlah berpihak padaku
membantu ku bangkit dari kejatuhan yang teramat sangat

dan dia masih jauh..
semakin jauh,,
hingga sulit tuk ku rengkuh.. walau hati ini ingin dan utuh namun ketidakberdayaanku mengharuskan ku tuk tetap diam atau mundur.

Dia sekali lagi tersenyum kecil diujung bibirnya
terasa getir, manis dan lenyap
ku pecahkan kaca yang membatasi kami
membalas dengan sebuah senyuman ikhlas dan setetes airmata di ujung kelopak mataku

Biarlah waktu yang membantuku
hanya waktu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar