Pada
kesempatan kali ini kita akan membahas tentang yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime. Sebagaimana yang kita
ketahui bersama bahwa dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih
, kejahatan dapat terjadi dimana saja , oleh siapa saja , tidak terbatas akan
sebuah wilayah. Seseorang dapat melakukan sebuah kejahatan dengan jarak ribuan
mil dari korbannya dan mengakibatkan kerugian. Bagaimanakah bentuk peradilan
hukum dan yuridiksinya terhadap hal seperti itu ? Apakah hukum mampu menjangkau
pelaku yang berada di luar teritorial dari negara kita ?
Untuk
menjawab pertanyaan itu , marilah lebih dahulu kita mengetahui tentang apa itu
yuridiksi hukum , asas dan prinsip yuridiksi , serta komponen yuridiksi didalam cybercrime hingga contoh kasus dari penerapan
yuridiksi terhadap kejahatan cyber.
Pengertian Yuridiksi
Yurisdiksi
berasal dari bahasa inggis yaitu “Jurisdistion
“. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa latin “Yurisdictio”. Yuris berarti kepunyaan menurut hukum dan “Diction” berarti ucapan, sabda, sebutan
ataupun firman.
Anthony
Csabafi, dalam bukunya “The Concept of
State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang
pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : Yurisdiksi
negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur
dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif,
eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya,
perilaku-perilaku negeri.
Prinsip Yuridiksi
1. Prinsip Yurisdiksi
Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap
kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya.
Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang
tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut
Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua
orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas
territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat.
Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat
dengan pertimbangan:
a.
Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu;
b.
Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c.
Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d.
Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan
diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran
HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun
mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya
sendiri.
Dengan demikian, ketika
seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di
sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya
terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan
popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa
perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan
yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya,
beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.
Terhadap pejabat diplomatic negara asing
b.
Terhadap negara dan kepala negara asing
c.
Terhadap kapal public negara asing
d.
Terhadap organisasi internasional
e.
Terhadap pangkalan militer negara asing
2. Prinsip
Teritorial Subjektif
Berdasarkan prinsip ini
Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang
dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara
lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah
Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia).
Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip
territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah
Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.
3. Prinsip
Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini suatu
Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang
menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara
lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana
kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam.
Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita
kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam
kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili
A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia,
meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.
4. Prinsip
Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini
Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar
negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh
majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi
klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki
kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat
aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
5. Prinsip
Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini
Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang
dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan
memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip
(Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus
US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat
pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas
pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban
perbuatan Yunis.
6. Prinsip
Universal
Yurisdiksi universal dalam
hukum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity)
bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa
di bawah hukum internasional yang menikmati impunity bebas
bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious
international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan
hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah
yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri menonjol sebagai berikut:
a.
Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase
“setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk
turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari
bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib
untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan
dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe
heaven dalam wilayah negaranya.
b.
Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious
crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan
titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku,
korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan
yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak
mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak
berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila
Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c.
Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap
pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional
crime.
Komponen Yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime
Selanjutnya
dalam kasus-kasus cybercrime, yurisdiksi hukum selalu menjadi masalah serius
yang dihadapi oleh penegak hukum. Apalagi jika melibatkan warga Negara asing. (Brenner, 2006) dalam bukunya
yang berjudul IT Law Series Vol 11 Cybercrime and Jurisdiction menjelaskan
bahwa untuk menjawab permasalahan cybercrime dalam yurisdiksi hukum ini yang
melibatkan antar Negara, maka ada 7 komponen yang dapat digunakan oleh negara
untuk mengklaim yurisdiksi hukum atas kasus cybercrime yaitu :
-
Tempat Kejahatan Dilakukan
Hal ini biasanya dilakukan dengan menerapkan
asas territorialitas dengan faktor seperti :
·
Lokasi tempat dilakukannya kejahatan
·
Lokasi dimana alat berada
·
Lokasi dimana pelaku berada
·
Lokasi dimana akibat berada
·
Lokasi dimana ada hal-hal yang
berhubungan dengan kejahatan tersebut
-
Tempat Dimana Pelaku Ditangkap
Komponen ini digunakan dengan menerapkan
prinsip universalitas dimana setiap Negara berhak untuk mengadili setiap orang
yang melakukan kejahatan internasional.
-
Akibat
Pada komponen ini, dimana akibat atau
korban berada, maka Negara tempat korban tersebut berada berhak untuk mengklaim
yurisdiksi atas kasus ini.
-
Nasionalitas (Kewarganegaraan)
Komponen ini terbagi dua yaitu
kewarganegaraan korban dan kewarganegaraan pelaku. Kewarganegaraan korban dapat
digunakan untuk mengklaim yurisdiksi atas suatu kasus dan kewarganegaran pelaku
juga dapat digunakan namun Negara pelaku harus menjamin dapat mengadili
seadil-adilnya pelaku tersebut karena merasa “bertanggung jawab” atas perbuatan
yang dilakukan si pelaku.
-
Kekuatan dari Kasus Tersebut
Komponen ini harus diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum dalam dokumen yang menyatakan bahwa mereka mempunyai kasus yang
cukup kuat (dalam hal bukti, saksi, dll) untuk mengadili pelaku di negaranya.
-
Pemidanaan
Lamanya
pemidanaan dapat dijadikan komponen untuk menentukan yurisdiksi dalam kasus
cybercrime. Misalkan hukuman untuk orang yang melakukan hacking di Negara A
adalah 5 tahun dan di Negara B 3 tahun, maka Negara A berhak untuk mengklaim
yurisdiksi nya
-
Keadilan dan Kenyamanan
Dalam komponen ini, keadilan maksudnya
untuk Negara yang berhak mengklaim yurisdiksi atas kasus cybercrime adalah
Negara yang memiliki sistem peradilan yang adil dan tidak memihak dan juga yang
paling nyaman bagi saksi untuk hadir dalam persidangan.
Penerapan
Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime di
Indonesia
Ada
beberapa kasus yang berhubungan dengan yuridiksi dan hukum internasional yang
di lakukan Warga Negara Asing di Indonesia, ataupun korbannya adalah warga
negara Indonesia, namun yang sedang hangat-hangatnya terjadi adalah kasus Dimitar
Nikolov, seorang Warga Negara Asing asal Bulgaria yang melakukan kejahatan ATM
Skimming di Indonesia. Dimitar Nikolov sudah beraksi di Indonesia sejak 2013 ,
tepatnya di Bali dan telah mencuri lebih dari 5.500 kali melalui 509 kartu ATM
Palsu dengan total kerugian sebesar 1,5 miliar euro atau setara dengan Rp. 24
Triliun. Modus utama dari Nikolov adalah dengan menempatkan sebuah alat skimmer
atau alat penduplikasi data kartu di ATM , dan juga menempatkan kamera mini
untuk merekam saat korban menekan tombol dari personal identification number (
PIN). Dengan begitu, ketika korban memasukkan kartu ATM nya pada mesin , maka
nikolov telah mendapatkan 2 informasi , yaitu data kartu ATM dan juga nomor
PIN. Data-data tersebut di masukkan kedalam kartu ATM kosong dan kemudian dapat
digunakan sama seperti kartu aslinya, saat itulah pelaku menguras semua isi
dari rekening korban.
Menurut
Informasi yang dilansir Kompas , Kabareskrim Komjen Anang Iskandar menyebutkan
bahwa Nikolov tidak mengincar warga negara Indonesia. Ia mengincar warga negara
luar yang tengah berwisata di Bali dengan jumlah uang yang tidak besar, namun
dengan korban yang banyak.
Dan
Pada tanggal 23 Oktober yang lalu, Kepolisian Indonesia
berhasil menangkap Nikolov dari tempat persembunyiannya di Bosnia. Penjemputan dilakukan
oleh Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Bambang Waskito pada 23
Oktober 2015. Nikolov dijemput setelah disetujuinya permintaan ekstradisi
Bareskrim ke Pemerintah Bosnia untuk mengekstradisi Nikolov. Nikolov dijerat dengan
Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 3,
4, 5, dan 10. Juga UU Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari kasus diatas kita dapat melihat bahwa Indonesia
bersikap tegas menegakkan hukum dengan asas yuridiksi teritorial dengan komponen
dimana kejahatan itu dilakukan. Dimitar Nikolov merupakan warga negara
Bulgaria , namun dia melakukan tindak kejahatan di wilayah hukum Indonesia. Perbuatannya
merugikan ekonomi nasional , perlindungan terhadap data strategis,
menghilangkan kepercayaan negara lain terhadap keamanan negara Indonesia,serta
pelecehan atas harkat dan martabat negara. Meskipun yang menjadi korban secara
finansial adalah warga negara Asing , namun akun dari ATM korban tersebut
merupakan Bank milik Indonesia, dan juga menurunnya kepercayaan pihak Asing
terhadap keamanan data dari Bank tersebut. Selain itu , tindak kejahatan ini
mampu memberi efek trauma terhadap korban sehingga berkemungkinan akan
mengakibatkan berkurangnya wisatawan asing ke Indonesia.
Mengapa Dimitar Nikolov bisa di tangkap di Bosnia,
Serbia ?
Kepolisian Indonesia memang sudah menetapakan Dimitar
Nikolov sebagai tersangka utama dari kasus ATM Skimming , dengan adanya sebuah
kerjasama hukum Internasional dengan Negara Serbia , Indonesia bisa mengajukan
permintaan ekstradisi terhadap seorang penjahat buronan hukum negara. Oleh
karena itu ,Kepolisian Indonesia berhasil menjemput Dimitar Nikolov di Bosnia
untuk diadili di Indonesia.
Dari kasus diatas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa , apapun tindakan kejahatan yang dilakukan , akan diadili berdasarkan
hukum dan yuridiksi yang berlaku, walaupun kejahatan tersebut dilakukan oleh
warga negara asing sekalipun. Landasan hukum Indonesia menjerat kuat terhadap
semua tindak kejahatan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan seluruh regulasi hukum lain yang mengaturnya. Kejahatan secara dunia
maya pun akan mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Demikian lah pembahasan saya tentang yuridiksi hukum
dalam kasus cybercrime. Semoga bisa menambah wawasan kita. :)
Referensi :
Afitrahim, M. (2012). Yurisdiksi Dan Transfer of
Proceeding Dalam Kasus Cybercrime. Universitas Indonesia.
Brenner, S. W. (2006). Chapter 17, The Next Step:
Prioritizing Jurisdiction. In IT Law Series Vol 11: Cybercrime and
Jurisdiction (pp. 330–346). Leiden: Asser Press.
Kuwado, F. J. (2015, October 23). 5.500 Kali Beraksi di Bali,
Pencuri via ATM Asal Bulgaria Kantongi Rp 24 Triliun. Kompas.com.
Jakarta. Retrieved from
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/23/19592061/5.500.Kali.Beraksi.di.Bali.Pencuri.ATM.asal.Bulgaria.Kantongi.Rp.24.Triliun
Republik Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (2008). Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar